Welcome to My lovely Blog

Random

create your own banner at mybannermaker.com!
Copy this code to your website to display this banner!
http://adf.ly/EWRNQ

Hadiths/aLQur'an

Hadiths/aLQur'an
Dhul Hijja

Ayat-ayat Ghadir (Ghadir Khums = Telaga Khum)


Ayat-ayat Ghadir

Sebagian orang meyakini bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum telah diselewengkan oleh kalangan Ahlisunnah, dengan tujuan bahwa ayat yang dibahas yang membuktikan kekhalifahan Imam Ali as tidak terungkap? Tolong jelaskan pandangan Anda tentang distorsi ayat yang berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum.
Kebanyakan para mufassir Al-Qur’an, baik dari kalangan Ahlusunnah maupun Syiah, meyakini permasalahan ini, bahwa petikan ayat: “Pada hari ini Orang-orang kafir telah putus asa utuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.”  merupakan kalimat sisipan (mu’taridha) yang terdapat di tengah-tengah ayat ketiga dari surah Al-Maidah. Dan juga kebanyakan dari mereka sepakat akan hal ini bahwa kalimat sisipan ini sejak awal ada dan atas seizin Nabi Saw; karena pada dasarnya Allah Swt-lah yang memerintahkan kepada Nabi Saw untuk menata dan mengatur susunan ayat yang terdapat pada al-Qur’an. Namun permasalahan ini – pemberian  hak penataan dan penyusunan setiap ayat kepada ummat -  berseberangan dengan kesatuan Al-Quran itu sendiri sebagai mukjizat Ilahi dan esensi perbuatan dan satu-satunya firman Allah SWT; karena salah satu rukun dari kemukjizatan Al-Qur’an, adalah metode dan cara penulisannya. Kita semua tahu bahwa dengan terpisahnya satu bagian seperti bentuk dan susunan dari sebuah perkumpulan yang telah terancang lalu pondasi perkumpulan tersebut hancur, maka seluruh bangunan tersebut pun akan runtuh.
Adapun  penyelewengan ayat-ayat yang dilakukan oleh kalangan Ahlusunnah dan orang-orang yang mengingkari kekhalifahan Imam Ali As adalah tertolak secara tegas karena Rasul yang mulia sangat sensitif dalam menjaga keotentikan Al-Qur’an. Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw, seperti Ali As, Ibnu Abbas dan yang lainnya,  dapat mencegah terjadinya perselisihan, penyelewengan dan perubahan pada setiap ayat dan susunan ayat-ayat tersebut.
Begitu pula pemalsuan dan penyelewengan ayat-ayat pada masa pemerintahan ketiga khalifah itu tertolak. Karena Quran-quran yang ada pada masa itu, atas perintah Usman, keseluruhannya telah dikumpulkan dan setelah ditulis ulang, kemudian dikirim ke setiap kota. Hal ini didukung oleh Amirul Mukminin Ali As dan tidak ada reaksi dari beliau yang menunjukkan bahwa terdapat kesalahan dalam penyusunan ayat-ayat dan drafnya yang dilakukan oleh khalifah. Begitu pula halnya pada masa para Imam Maksum As, dikarenakan adanya riwayat-riwayat yang menunjukkan tentang pahala membaca Al-Qur’an dan menghapalnya dan lain sebagainya tidak tersentuhnya ayat-ayat Al-Qur’an oleh tangan-tangan jahil secara sempurna adalah sebuah permasalahan yang diterima. Adapun dugaan adanya (perubahan dan penyelewengan) setelah periode para imam adalah hal yang batil yang tidak dapat diterima. Karena tidak ada satu pun dari para pemikir dan ulama besar tafsir yang meragukan keotentikan Al-Quran dan tidak meyakini adanya pemindahan di dalamnya.
Dalam pada itu, terdapat pula Al-Quran-al-Qur’an yang ditulis dengan tulisan yang bernuansa Nasakh dan Kuffi (bentuk tulisan Al-Qur’an) dari periode para imam As dimana para ahli mendukung antikuasi Al-Qur’an tersebut dan meyakininya. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa sebagian dari mushaf-mushaf tersebut, ada juga yang disandarkan kepada para imam As.
Hasilnya adalah dengan asumsi menerima bahwa ini adalah kalimat sisipan dari ayat ketiga dari surah Al-Maidah, adalah sama sekali tidak dapat dipastikan bahwa dalam perkara ini ada campur tangan orang-orang yang ingkar. Bukan hanya itu, bahkan hal tersebut keluar dari tanggung jawab Rasulullah saw. Karena urusan ini adalah perkara yang khusus berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Haq.
Mungkin dapat dikatakan bahwa ada tambahan istimewa di antara kalimat sisipan tersebut dengan petikan-petikan lain dari surah Al-Maidah. Karena bagi setiap pemikir sudah jelas bahwa dasar pondasi yang mendukung surah ini adalah kekokohan pada ikatan-ikatan janji dan penepatan pada janji-janji tersebut. Oleh karena itu, sangat beralasan bagi Allah Swt meletakkan janji-Nya yang sangat besar ini kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tentang wilayah Imam Ali As di tempat-tempat yang juga janji-janji-Nya -seperti hukum-hukum ja’li dantasyri’i- terdapat di situ. Sehingga dengan berlalunya masa, hal tersebut tidak akan dilupakan. Dari sini kita melihat bahwa ayat kesempurnaan agama dan kekokohan nikmat, terdapat di antara ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat.   
Jawaban Detil:
Kita memiliki dua asumsi yang mendasar dalam menyikapi petikan ayat berikut: “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku- ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[1]
A.    Bagian yang sedang diamati berkenaan dengan wilayah Amirul Mukminin Ali As, adalah jumlah mu’taridhah (kalimat sisipan) yang berbeda bagian awal dan akhirnya dari sisi pemahaman.
B.    Walaupun bagian tersebut -dari segi lahirnya - bertentangan dengan petikan ayat sebelum dan setelahnya, namun dengan sedikit cermat dapat ditemukan hubungan antara ayat tersebut dengan ayat-ayat setelahnya.
Penjelasan asumsi pertama:
Untuk sampai pada jawaban yang benar, terpaksa kami mengkaji dan menganalisa tambahan yang telah disampaikan  dari sebab-sebab permasalahannya.
1.     Bahwa petikan di atas adalah sebuah kalimat sisipan yang dengan keinginan Ilahi, dari awal penurunan ayat-ayat surah Al-Maidah, ada di antaranya dan ada bersamaan dengannya.
2.     Bagian yang sedang disoroti -dengan permintaan Nabi Saw dan izin yang jelas dari beliau dan dengan perantara para penulis wahyu- dipindahkan dari tempat lain ke surah Al-Maidah.
3.     Bahwa  orang-orang yang ingkar terhadap kekhilafahan Amirul Mukminin As dan kedudukan beliau sebagai washi, telah melakukan perubahan dan penyelewangan draft ayat-ayat tersebut dengan maksud menyembunyikan perkara kekhalifahan beliau.
Dari asumsi di atas, karena memiliki hubungan erat dengan soal yang telah disampaikan, maka kami memulai pembahasan ini dari asumsi yang ketiga:
Campur tangan dalam perkara yang berkaitan dengan wahyu -jika asumsi tersebut kita terima- bahwa hal itu dilakukan oleh kalangan Ahlusunnah dan secara global oleh orang-orang yang ingkar terhadap kekhalifahan (Ali As), maka persoalan ini tidak keluar dari dua hal, yaitu dilakukan pada masa periode Rasulullah dan para Imam Maksum As atau hal itu terjadi setelah tahun 329 H, yaitu setelah kepergian wakil khusus Imam Mahdi Ajf yang terakhir, yaitu Ali bin Muhammad Samuri. Kesensitifan Rasulullah Saw yang istimewa (terhadap Al-Qur’an) dan kerinduan para penulis wahyu yang mendalam terhadap penulisan Al-Qur’an Al Karim, selain itu semua, usaha yang meluas para penghapal-Qur’an dalam menghafalnya secara mendalam dari hati ke hati, secara pasti dapat menghalangi seseorang yang hendak memindahkan dan merubah Al-Qur’an dalam periode ini yang akan merusak aturan penulisan dan penghafalan mushaf yang mulia ini.
Jika kita katakan bahwa terpencarnya ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia ini terjadi pada masa priode perampasan maqam kekhalifahan dan penyembunyian kebenaran yang dilakukan oleh keluarga Umayah dan Bani Abbas, maka hal ini bertentangan dengan kenyataan. Dengan beberapa alasan;
Pertama: Kitab yang mulia (Al-Qur’an) telah dikumpulkan dan telah menjadi mushaf sejak zaman Rasulullah Saw[2] dan pada beberapa puluh tahun pertama telah dikirim ke beberapa daerah[3] sehingga hal tersebut menjadi sebab tersedianya pengetahuan secara umum bagi kaum muslimin pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam demikian, tidak diragukan lagi bahwa  para sahabat Rasulullah saw pun mengetahui draf dan susunan ayat-ayat. Dengan menghubungkan hal-hal di atas, maka tidak ada lagi tempat bagi kelompok tertentu untuk menuangkan pandangannya pada susunan ayat-ayat yang ada pada mushaf yang mulia.
Kedua: Imam Ali As pun yang dalam periode pemerintahannya pada tahun 35 sampai 40 H yang juga memiliki kemampuan politik dan fasilitas-fasilitas yang memadahi untuk menutup perubahan (tahrif), beliau sama sekali tidak memberikan komentar apapun dan tidak melarang masyarakat untuk mengamalkannya.  Bahkan lebih dari itu, terdapat dalam sebuah riwayat bahwa beliau mendukung atas Al-Quran yang dikumpulkan oleh Usman dan bersabda: Sekiranya aku yang memiliki wewenang urusan ini, maka aku pun akan melakukan apa yang usman lakukan.[4] Selain riwayat ini, Imam Ali As dalam menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Thalhah; apakah Al-Qur’an yang telah dikumpulkan itu adalah Al-Qur’an yang telah diturunkan sebagai wahyu ataukah tidak? Beliau menjawab: Siapa saja dari kalian yang mengamalkan sesuai dengannya, maka ia akan terhindar dari api Jahannam dan akan mendapatkan keselamatan dan masuk ke dalam surga. Karena hujjah, hak-hak kami dan kewajiban untuk mentaati kami telah dijelaskan di dalamnya.[5]   
Seusai periode kekhalifahan Ali as dan pada periode-periode para imam maksum as pun tidak ditemukan pelarangan dan penolakan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an, bahkan sebaliknya terdapat riwayat-riwayat yang menunjukkan keutamaan Al-Qur’an, seperti pahala bagi orang yang membaca, menghafalnya dan bahkan menolak hadis yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.  Dan terlihat dukungan yang banyak akan kemurnian Al-Qur’an baik dari sisi susunan ataupun dari sisi kandungannya.
Adapun jika kita katakan bahwa perubahan ayat wilayah, yang dilakukan oleh orang-orang yang ingkar setelah masa ghaib kecil, hal ini pun tidak dapat diterima. Karena pertama: tidak sedikit lembaran-lembaran yang berupa tulisan tangan, disandarkan pada zaman pasca ghaib besar yang sampai ke tangan kita. Bahkan sebagian dari lembaran-lembaran tersebut, telah ditulis oleh salah seorang Imam As. Yang kedua: tidak ada satu pun dari ulama ilmu Al-Qur’an, sekalipun ulama yang menyakini adanya perubahan dalam Al-Qur’an dari sisi kurang ayatnya [6], menerima adanya perubahan  Al-Qur’an dari sisi draft dan susunan ayat-ayatnya. Dan mereka sepakat bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hujjah yang lengkap dan sempurna.
Sekarang sampai pada dugaan yang kedua; yakni perpindahan (peletakkan) ayat-ayat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Walaupun asumsi tersebut keluar dari pertanyaan yang telah disampaikan, namun menjawab hal tersebut memiliki beberapa alasan.
Sebagian ulama besar tafsir[7] dari kalangan Syiah benar-benar meyakini dugaan tersebut bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an telah diserahkan kepada Nabi besar Islam saw dan mereka berkata: penyerahan susunan ayat-ayat kepada umat, walaupun hal tersebut banyak yang mengatakan, namun banyak bukti dan dalil yang menunjukkan atas penolakkannya. Pertama bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat Ilahi. Dan mukjizat merupakan sebuah himpunan seperti satu ikatan bunga, yang jika hilang sebagiannya, maka akan sirna seluruhnya,  dan himpunan yang telah disusun rapih itu akan menjadi hancur.
Dalam buku-buku tebal yang membahas pembahasan Al-Qur’an secara rinci, telah dibuktikan bahwa salah satu dari kemukjizatan[8] Al-Qur’an Al Karim adalah bentuk dan cara penulisannya. Dengan demikian, penyerahan susunan ayat-ayat Al-Qur’an kepada umat atau bahkan kepada pribadi Rasulullah dapat mengakibatkan bahwa Al-Qur’an bukan lagi sebagai kesatuan firman Tuhan SWT. Jadi hal itu adalah batil. Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an lebih utama diserahkan kepada Rasulullah, jauh dari perkiraan akal dan hal tersebut batil. Ada juga dalil-dalil lain yang membuktikan pengakuan tersebut, namun kami persilahkan kepaeda pembaca agar merujuk pada kitab-kitab[9] yang membahasnya secara terperinci.
a). Tinggal dugaan yang pertama, yaitu asumsi awal. Yaitu bahwa tambahan yang ada dalam ayat Ghadir dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya sesuai dengan keinginan Ilahi dan sudah ada sejak awal pertama kali diturunkan dan tiada seorang pun walau pribadi Nabi sendiri yang ikut campur tangan dalam masalah ini.
Nah sekarang apa falsafah upaya ini? hakikat ini merupakan perkara yang tidak dapat kita jangkau. Dalam hal ini ada beberapa dalil istihsan yang akan kita singgung sebagai sebuah contoh, misalnya:
Allah SWT telah menyebutkan laqab Imam Ali as di dalam Al-Qur’an dengan jelas. Dengan dalil itulah dan dengan tujuan menghindari perpecahan umat dan agar mereka tidak maenjauhkan Al-Qur’an, Allah Swt menempatkan penggalan ayat tersebut di tengah-tengah ayat-ayat ahkam. Sehingga tidak menarik keinginan para pengingkar (untuk merubahnya) dan mencegah mereka untuk tidak menentang Al-Qur’an Al Karim. Sebagaimana seseorang yang meletakkan dan menyembunyikan barang-barang yang mahal dan berharga miliknya di antara barang-barang lainnya sehingga tidak menarik perhatian orang-orang jahat.
Semua penjelasan tersebut apabila kita telah menerima terjadinya  kontradiksi antara  ayat wilayah dengan penggalan ayat-ayat pertama di dalam  surah Al Maidah.
b). Namun ada dugaan lain yang berdasar pada kesatuan pemahaman antara bagian yang sedang disoroti dan ayat-ayat lain surah yang mulia ini. Dengan cara mengamati ayat-ayat surah Al Maidah dengan jelas dapat kita simpulkan bahwa Allah Swt sangat menekankan agar hamba-Nya mengamalkan perjanjian dan berpegang teguh pada perjanjian-Nya yang terdapat di dalam surah tersebut. Baik itu perjanjain Tuhan kepada hamba-hamba-Nya ataupun perjanjian antara sesama hamba-Nya.
Salah satu “perjanjian Tuhan” kepada hamba-Nya yang jika perjanjian-Nya itu ditaati merupakan kesempurnaan agama dan nimat-Nya adalah menerima wilayah Amirul Mukminin Ali as sebagai pengganti Nabi saw dan khalifah Allah di muka bumi. Perjanjian ini juga memiliki dimensi lain. Karena wilayah itu meliputi seluruh urusan kehidupan manusia baik individu maupun sosial. Karenanya hal itu merupakan mishdaq (obyek luaran) perjanjian yang paling menonjol dan baiat Ilahi yang paling penting terhadap hamba-Nya yang sangat ditekankan. Perjanjian tersebut di sebutkan pula pada tempat-tempat lainnya, sehingga dengan berlalunya masa  tidak mudah dilupakan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: “Dengan dasar ini maka petikan ayat tersebut terletak di tengah-tengah ayat yang menjelaskan hukum syariat.”
Untuk studi lebih dalam mengenai peristiwa Ghadir Khum, ayat-ayatnya, ucapan selamat para sahabat, dan lain-lain, Anda dapat merujuk sumber-sumber dibawah ini:
1.     Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 1, hal. 84 samapi 370; jilid 6, hal. 401.
2.     Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal. 55 sampai 69
3.     Al Mustadrak ‘ala shahihain, Hakim Neisyaburi, jilid 3, hal. 118 dan 613
4.     Al Gahdir, Alamah Amini, jilid 1.
Daftar Pustaka:
1.     Jurji Zaidan, Târikh Tamaddun Islâm, terjemahan Ali Jauhar Kalam.
2.     Jawad Ali, al-Mufashal fi Târikh al-]Arab qabla al-Islâm.
3.     Syaikh Abu Abdillah Zanjani, Târikh Al-Qur’ân.  
4.     Ahmad bin Abi Yakub, Târikh Ya’qubi.
5.     Ali bin Al Atsir, Kâmil Ibnu Atsir fi al-Târikh
6.     Sulaim bin Qais Hilali, Kitâb Sulaim bin Qais.
7.     Jalaluddin Abdurahman Al Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulumi al-Qur’ân.
8.     Terjemah Muhammad Baqir Musawi Hamedani, al-Mizân fi tafsir Al-Qur’ân.
9.     Sayyid Abu Al Fadl Mir Muhammadi, Târikh wa ‘Ulum Al-Qur’ân.    
            

[1] “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah... Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu...” (Qs. Al-Maidah [5]:3)
[2]  Salah satu bentuk garis-garis tulisan arab sebelum islam, yang dikenal sebagai garis(khat) Nabthi yang berasal dari kabilah Anbaath di selatan kota Hizaj yang mana setelah berlalunya masa, garis (khat) Nasakh megambil darinya dan garis khat tersebut menjadi tulisan Al Quran Al Karim. Jawad Ali, al-Mufashshal fi Târikh al-‘Arab Qabla al-Islâm, hal. 153; Syaikh Abu Abdillah Zanjani, Târikh al-Qur’ân, hal. 48. 
[3] Usman, setelah menulis ulang Al-Quran pada periodenya, lalu ia mengirim Al-Quran tersebut ke beberapa kota seperti kota Kufah, Bashra, Madinah, Makkah, Syam (Syiria), Bahrain, Mesir, Yaman, dan Al Jazair. Ahmad bin Abi Yakub, Târikh Ya’qubi, jilih 2, hal. 158.
[4] Ali bin Al-Atsir, Kamil ibnu Atsir fi Târikh, jil. 3, hal 112.
[5] Sulaim bin Qais Hilali, Kitâb Sulaim bin Qais, hal. 312.
[6] Jalaluddin Abdurrahman Al Suyuthi, al-Itqân fi Ulum al-Qur’ân, jil. 1, hal. 72.
[7]. Muhammad Baqir Musawi Hamedani, Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizan fii Tafsir al-Qur’an.
[8]. Sayyid Abu Al fadl Mir Muhammadi, Târikh wa Ulum al-Qur’ân, hal. 197.   
[9]Manâhil Al-‘Irfân, jil. 2, hal. 309.
 

Al-Quran Dalam Kacamata Ahlulbait as



Bismillâhirrahmânirrahiîm

إِنَّ هَذِهِ الْقُلُوْبَ لَتَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ وَ إِنَّ جَلاَءَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya kalbu-kalbu ini akan berkarat sebagaimana besi dapat berkarat, dan kalbu-kalbu itu dapat berkeliau dengan membaca al-Quran”.
1. Rasulullah SAWW bersabda,
أَفْضَلُ الْعِبادَةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Ibadah yang paling utama adalah membaca al-Quran”.
2. Imam Ali as berkata,
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَكَأَنَّمَا اُدْرِِجَتِ النُبُوَّةُ بَيْنَ جَنبَيْه إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يُوْحَى إِلَيْهِ
“Barangsiapa membaca al-Quran, seakan-akan kenabian telah dimasukkan ke dalam dadanya. Hanya saja, ia tidak mendapatkan wahyu”. (Majma’ al-Bayân, jilid 1, hal. 16)
3. Rasulullah SAWW bersabda,
نِعْمَ الشَفيْعُ الْقُرْآنُ لِصاحِبِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Sebaik-baik penyafaat pada hari Kiamat adalah al-Quran bagi orang selalu bersamanya”. (Nahj al-Fashâhah, Hadis ke-3134)
4. Rasulullah SAWW berkata,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأصْواتِكُمْ، لِكُلِّ شَيْئٍ‌ حِلْيَةٌ وَ حِلْيَةُ القَرْآنِ الصَّوْتُ الحَسَنُ
“Hiasilah al-Quran itu dengan suara kalian. Setiap sesuatu memiliki haisan, dan hiasan al-Quran adalah suara yang indah”. (Al-Kâfî, jilid 2, hal. 450)
5. Imam Hasan bin Ali as berkata,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ فِيْهِ مَصابيْحُ النُّوْرِِ وَ شِفَاءٌ لِلصُّدُوْرِِ
“Sesungguhnya di dalam al-Quran ini tersimpan pelita-pelita cahaya dan obat bagi hati”. (Jâmi’ al-Akhâr wa al-Atsâr, jilid 1, hal. 164)
6. Rasulullah SAWW berkata,
... إِذَا خَتَمَ الْقُرآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ اَلْفَ مَلَكٍ
“Jika seseorang telah mengkhatamkan al-Quran, enam puluh ribu malaikat akan bershalawat kepadanya”. (Jâmi’ al-Akhâr wa al-Atsâr, jilid 1, hal. 339)
7. Rasulullah SAWW bersbada,
إِذَا قَرَأَ الْقارِئُ  الْقُرْآنَ، فَأَخْطَأَ اَوْ لَحَنَ اَوْ كانَ اَعْجَميّاً كَتَبَهُ الْمَلَكُ كَما أُنْزِلَ
“Jika seseorang membaca al-Quran, lalu salah membacanya atau ia bukan orang Arab, maka malaikat akan menulisnya sebagaimana ia diturunkan”.(Kanz al-‘Ummâl, jilid 1, hal. 513, Hadis ke-2284)
8. Imam as-Sajjâd as berkata,
لَوْ مَاتَ مَنْ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ لَمَا اسْتَوْحَشْتُ بَعْدَ أَنْ يَكُوْنَ الْقُرْآنُ مَعِيْ
“Seandainya seluruh penduduk yang berada di timur dan barat mati, niscaya aku tidak akan takut setelah al-Quran bersamaku”. (Mîzân al-Hikmah, jilid 8, hal. 67)
9. Rasulullah SAWW bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَاتَّخِذُوْهُ إِمَاماً وَ قَائِداً
“Selayaknya kalian selalu bersama al-Quran dan menjadikannya sebagai imam dan pemimpin”.
10. Rasulullah SAWW bersabda,
نَوِّرُوْا بُيُوْتَكُمْ بِتِلاَوَةِ الْقُرْآن
“Terangilah rumah kalian dengan bacaan al-Quran”.
11. Rasulullah SAWW bersabda,
اَلْقُرْآنُ مَأْدَبَةُ اللهِ فَتَعَلّمُوْا مَأْدَبَتَهُ مَا اسْتَطَعتُمْ
“Al-Quran adalah hidangan (pendidikan) Ilahi. Maka, belajarlah dari hidangan (pedidikan) tersebut semampu kalian”.
12. Rasulullah SAWW bersabda,
إِنَّ حُسْنَ الصَّوْتِ زِيْنَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya suara yang indah adalah hiasan al-Quran”.
13. Imam al-Kâzhim as berkata,
فِي القُرْآنِ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ
“Di dalam al-Quran terdapat obat untuk setiap penyakit”.
14. Rasulullah SAWW bersabda,
حَسِّنُوا الْقُرْآنَ بأَصْواتِكُم فَإِنَّ الصَّوْتُ الحَسَنُ يَزيْدُ الْقُرْآنَ حُسْناً
“Perindahlah al-Quran dengan suara kalian, karena suara yang indah akan menambah keindahan al-Quran”. (‘Uyûn al-Akhbâr, jilid 2, hal. 69)
15. Rasulullah SAWW bersabda,
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ حَشَرَهُ الله يُوْمَ القيامةِ اَعْمى
“Barangsiapa membaca al-Quran dan tidak mengamalkannya, Allah akan membangkitkannya dalam keadaan buta pada hari Kiamat”.
16. Abu Ja’far as berkata,
لِكَلِّ شَيْئٍ‌ رَبيْعٌ وَ رَبيْعُ الْقُرْآنِ شَهْرُ رَمَضَانَ
“Segala seuatu memiliki musim semi, dan musim al-Quran adalah bulan Ramadhan”.
17. Imam Shâdiq as berkata,
فَقارِئُ الْقُرْآنَ يَحْتَاجُ إِلَى ثَلاَثِةٍ: قَلْبٌ خَاشِعٌ وَ بَدَنٌ فَارِغٌ وَ مَوْضِعٌ خَالٍ
“Seseorang yang sedang membaca al-Quran memerlukan tiga hal: kalbu yang khusyu’, badan yang tenang, dan tempat yang sepi”.
18. Imam Shâdiq as berkata,
إِنَّ الَّذِيْ يُعَالِجُ الْقُرْآنَ وَ يَحْفَظُهُ بِمَشَقَّةٍ مِنْهُ وَ قِلَّةِ حِفْظٍ لَهُ أَجْرَانِ
“Sesungguhnya orang yang berusaha memahami al-Quran dan menghafalkannya dengan susah-payah dan kekuatan hafalan yang minim, pahalaya adalah dua kali lipat”.
19. Imam Ali as berkata,
حَقُّ الوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ وَ يُحَسِّنَ أَدَبَهُ وَ يُعَلِّمَهُ الْقُرْآنَ
“Hak seorang anak atas orang tuanya adalah hendaklah ia memilih nama yang baik baginya, memperbaiki etikanya, dan mengajarkannya al-Quran”.
20. Rasulullah SAWW bersabda,
مَنْ وَ قَّرَ الْقُرْآنَ فَقَدْ وَ قَّرَ اللهَ
“Barangsiapa memuliakan al-Quran, sesungguhnya ia telah memuliakan Allah”.
21. Rasulullah SAWW bersabda,
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ ذَكَرًا أَوْ أُنْثى، حُرَّاً أَوْ مَمْلُوْكاً، إِلاَّ وَ لِلّهِ عَلَيْهِ حَقٌ واجِبٌ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Allah memiliki hak wajib atas setiap Mukmin, baik lelaki maupun wanita, merdeka maupun budak untuk mempelajari al-Quran”.
22. Imam Ali as berkata,
لِقاحُ الْإِيْمَانِ تِلاَوَةُ الْقُرْآنِ
“Pembuahan iman adalah dengan membaca al-Quran”. (Mîzân al-Hikmah, jilid 8, hal. 81)
23. Rasulullah SAWW bersabda,
أَشْرَفُ أَعْمَالِ أُمَّتِيْ قِرَاءَةُ ‌الْقُرْآنِ
“Amalan umatku yang termulia adalah membaca al-Quran”.
24. Imam Shâdiq as berkata,
اِقْرَأُوا الْقُرْآنَ وَ اسْتَظْهِرُوْهُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالىَ لاَ يُعَذَّبُ قَلْباً وَعَى الْقُرْآنَ
“Bacalah al-Quran dan jadikanlah ia sebagai tenpat kalian bersandar, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang menjaga al-Quran”. (Mustadrak al-Wasâ`il, jilid 1, hal. 290)
25. Imam Shâdiq as berkata,
اَلْحَافِظُ لِلْقُرآنِ الْعَامِلُ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ‌ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ
“Orang yang menghafalkan al-Quran dan mengamalkannya, ia akan bersama para duta Ilahi yang mulia nan baik”. (Ushûl al-Kûfî, jilid 2, hal. 411)
26. Imam Shâdiq as berkata,
يَنْبَغِيْ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ لاَ يَمُوْتَ حَتَّى يَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ أَوْ يَكُوْنَ فِيْ تَعْلِيْمِهِ
“Selayaknya bagi seorang Mukmin untuk tidak meninggal dunia kecuali setelah mempelejari al-Quran atau sedang mempelajarinya”. (Ushûl al-Kûfî, jilid 1, hal. 444)
27. Imam Ridhâ as berkata,
كَلاَمُ اللهِ لاَ تَجَاوَزُوْهُ وَ لاَ تَطْلُبُوا الْهُدَى فِيْ غَيْرِهِ فَتَضِلُّوْا
“Janganlah kalian melanggar Kalâm Allah dan janganlah mencari petunjuk di selainnya, karena kalian akan tersesat”. (‘Uyûn Akhbâr ar-Ridhâ, jilid 2, hal. 57)
28. Rasulullah SAWW bersabda,
اِجْعَلُوْا لِبُيُوْتِكُمْ نَصِيْبًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Tentukanlah dalam (program) rumah kalian bagian dari al-Quran”.
29. Rasulullah SAWW bersabda,
يَا سَلْمَانُ، عَلَيْكَ بِقَرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّ قَرَاءَتَهُ كَفَّارَةٌ لِلذُّنُوْبِ
“Wahai Salman, bacalah al-Quran, karena membacanya dapat menjadi penebus dosa”. (Jâmi’ al-Akhbâr dan al-Mustadrak, jilid 1)
30. Imam Shâdiq as berkata,
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي الْمُصْحَفِ تُخَفِّفُ العَذَابَ عَنِ الْوَالِدَيْنِ وَ إِنْ  كَانَا كَافِرَيْنَ
“Membaca al-Quran melalui Mushhaf dapat meringankan siksa kedua orang tua meskipun mereka kafir”. (Al-Kâfî, jilid 2, hal. 440)
31. Rasulullah SAWW bersabda,
وَ أَشْرَافُ أُمَّتِيْ حَمَلَةُ الْقُرْآنِ وَ أَصْحَابُ اللَّيْلِ
“Orang-orang yang terhormat dari umatku adalah para pemikul al-Quran dan orang-orang yang beribadah di malam hari”. (Sirr al-Bayân fî ‘Ilm al-Quran, hal. 136)
32. Rasulullah SAWW bersabda,
إِنْ أَرَدْتُمْ عَيْشَ السُّعَدَاءِ  وَ مَوْتَ الشُّهَدَاءِ وَ النَّجَاةَ يَوْمَ الحَسْرَةِ وَالظِّلَ يَوْمَ الحَرُوْرِ وَالْهُدَى يَوْمَ الضَّلاَلَة، فَادْرُسُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ كَلاَمُ الرَّحْمَانِ وَ حِرْزٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ رُجْحَانٌ فِي الْمِيْزَانِ
“Jika kalian menginginkan kehidupan orang-orang yang berbahagia, kematian para syahid, keselamatan pada hari penyesalan, naungan pada hari (Mahsyar) yang panas, dan petunjuk pada hari kesesatan, maka pelajarilah al-Quran. Karena ia adalah Kalâm Rahman, penjagaan dari setan, dan nilai lebih dalam timbangan”. (Al-Hayâh, jilid 2, hal. 155)
 

Ali as dan 3l Quran e Qarim



Jalaluddin Farsi

Allah swt berfirman:

 áöäóÌúÚóáóåÇ áóßõãú ÊóÐúßöÑóÉð æó ÊóÚöíóåÇ ÃõÐõäñ æÇÚöíóÉñ  
“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”[1]
Pembahasan ini berkisar seputar Ali as dan al-Quran. Para pakar ulumul Quran dan mufassir sepakat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw berbeda tingkatan dalam potensi memahami dan menjangkau makna-makna al-Quran sebagaimana mereka relatif berbeda dalam mengambil manfaat dari curahan kesaksian turunnya wahyu, surat-surat dan kumpulan ayat-ayat yang diterima Nabi saw.
Mereka yang beriman kepada Rasulullah saw di Madinah tidak menyaksikan turunnya surat-surat Makkiyah (yang turun di Makkah) dan terhalang dari tafsir dan asbabun nuzul terutama efidence turunnya ayat-ayat.
Berkenaan dengan sebab turunnya ayat yang telah dibacakan, para pakar hadis dan sejarawan sepakat bahwa maksud dari “udhunun wa’iyah” adalah Ali bin Abi Thalib as. Sebagaimana Ibnu Jarir Thabari, Ibnu Abi Hatim, Wahidi (pengarang kitab “Asbabun Nuzul”), Ibnu Murdawaih, Ibnu Asakir dan yang lain mencatat dari ucapan Buraidah Aslami yang mana Rasulullah saw bersabda kepada Ali as:
Åäø Çááøå ÃãÑäì Ãä ÃÏäíß æ áÇ ÃÞÕíß æ Ãä ÃÚáøãß æ Ãä ÊÚí æ ÍÞø áß Ãä ÊÚí.
Maka turunlah ayat ini «áöäóÌúÚóáóåÇ áóßõãú ÊóÐúßöÑóÉð æó ÊóÚöíóåÇ ÃõÐõäñ æÇÚöíóÉñ » dan hal ini mereka nukil dari “Ad-Durrul Mantsur” tafsir Jalaluddin Suyuthi, dan “Asbabun Nuzul” hal 294 dan Abu Na’im dalam “Hilyatul Auliya’” juga mencatat yang demikian dan dengan nukilan hadis lain yang mana Nabi saw bersabda kepada Ali as: “ÝÃäÊ ÃÐä æÇÚíÉ áÚáãí”
Demikian juga dalam tafsiran ayat ini, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir, penulis kitab sejarah dan tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Murdawaih mencatat riwayat ini tetapi secara mursal yang mana setelah turun ayat “æó ÊóÚöíóåÇ ÃõÐõäñ æÇÚöíóÉñ” Rasulullah saw bersabda: “Aku berharap dari Allah swt supaya menajamkan telinga kecerdasan Ali as seperti demikian”. Dan Ali as berkata: “Setelah itu tidak pernah aku mendengar sesuatu dari Nabi saw dan kemudian melupakannya”. Tsa’labi juga mencatat riwayat ini dari Abu Hamzah Tsumali secara musnad (bukan mursal).
Dalam surat al-Haaqqah sebelum ayat ini, Allah swt menceritakan perihal kaum-kaum yang telah lenyap dan juga nabi-nabi terdahulu dan ketika itu Allah swt berfirman: Untuk menjangkau dan memahami serta menjaga perihal-perihal penuh pelajaran (‘ibrah) pada sejarah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu diperlukan telinga cerdas potensial dan menyeluruh. Oleh karena itu Ali as memahami al-Quran lebih baik dari seluruh sahabat Rasulullah saw dan mengajarkan kepada yang lain.
Ibnu ‘Athiyyah, Badruddin dan Suyuthi berkeyakinan bahwa pemuka para mufassir adalah Ali bin Abi Thalib as, sementara itu Ibnu Abbas belajar tafsir di sisi beliau as, dan setelah itu yang lain seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair dan lain-lain mengikutinya dan menjadi murid Ibnu Abbas.
Amirul Mukminin Ali as disamping adalah orang terbaik dalam memahami, menghapal dan mempelajari al-Quran, juga termasuk pemuka para sahabat dalam pengumpulan dan penjelasan penafsiran al-Quran.
Ibnu Abbas mengenai ayat suci “Åöäøó ÚóáóíúäÇ ÌóãúÚóåõ æó ÞõÑúÂäóåõ” berkata: Allah swt telah mengumpulkan al-Quran di hati dan dada Ali as dan beliau as sepeninggal Rasulullah saw mengumpulkan dan membukukannya selama 6 bulan.
Abu Na’im dalam “Hulyatul Auliya’” dan Khatib dalam “Arba’in” dari Suyuti dan dia dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan: Ketika Nabi saw meninggal dunia, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menyingkapkan jubahku dari pundak hingga aku menyusun al-Quran dan aku melakukan hal tersebut.
Para ahli sejarah dan tafsir juga menyepakati bahwa hanya Ali as yang mengklaim mengumpulkan al-Quran sebelum orang lain berfikir untuk mengumpulkan dan menyusunnya.
Dalam al-Ihtijaj Thabarsi disebutkan bahwa Abu Dzar al-Ghiffari berkata: Ali as setelah wafat Rasulullah saw dan berdasarkan wasiat beliau saw, mengumpulkan dan menyusun al-Quran dan membawanya ke hadapan kaum Muhajirin dan Anshar serta memperlihatkan kepada mereka. Ketika salah seorang membukanya dan pada halaman pertama, ia melihat kemarahan-kemarahan orang-orang maka ia tidak setuju dengannya.
Proyek pertama yang dilakukan Imam Ali as berkenaan dengan al-Quran adalah bertekad bahwa beliau as tidak akan keluar rumah sehingga menyelesaikan pengumpulan dan penyusunan al-Quran. Hal ini sendiri adalah ancaman terbesar bagi orang-orang yang memiliki maksud menodai al-Quran Karim dan sebuah pedang tajam terhunus di atas kepala orang-orang yang ingin mengurangi dan menambahi al-Quran. Sejarah mencatat bahwa dalam ayat:
“Åöäøó ßóËöíÑÇð ãöäó ÇáúÃóÍúÈÇÑö æó ÇáÑøõåúÈÇäö áóíóÃúßõáõæäó ÃóãúæÇáó ÇáäøóÇÓö ÈöÇáúÈÇØöáö”

hingga ayat berikutnya yang berbunyi:

“æó ÇáøóÐöíäó íóßúäöÒõæäó ÇáÐøóåóÈó æó ÇáúÝöÖøóÉó æó áÇ íõäúÝöÞõæäóåÇ Ýöí ÓóÈöíáö Çááøóåö ÝóÈóÔøöÑúåõãú ÈöÚóÐÇÈò Ãóáöíãò"
ketika mereka ingin menghilangkan «æÇæ» dari ujung «ÇáøÐíä» hingga merubah arti ayat dan ingin menunjukkan bahwa «ÇáøÐíä» ini yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak hanya para pendeta dan pastur saja bukan orang-orang yang berada di kalangan masyarakat Islam yang melakukan perbuatan pengkhianatan seperti ini, Abu Dzar, seorang sahabat agung menghunuskan lidah tajamnya di atas kepala mereka sehingga tahrif ini tidak terlaksana. Akan tetapi proyek Ali as lebih tinggi dari hal-hal ini.
Beliau as (menurut Abu Rafi’) duduk di rumah dan menyusun al-Quran sebagaimana turunnya (bukan berarti bahwa beliau as mengumpulkan sekumpulan ayat dan surat menurut urutan turunnya karena hal tersebut telah terlaksana, dan urutan yang sekarang ini keluar dari ikhtiar manusia bahkan Nabi saw, akan tetapi menentukan sebab turun dan mengenai siapa-siapa dan kapan ayat-ayat turun dan hal ini adalah keterjagaan al-Quran dan arti-artinya dari bahaya tahrif maknawi. Oleh karena itu beliau as memberikan motifasi kepada murid-murid untuk mempelajari dalam tafsir sebab turun dan urutan turun ayat dan surat dan supaya mengajarkan kepada yang lain berkenaan dengan siapa-siapa, kejadian-kejadian apa dan kondisi-kondisi apa ayat-ayat diturunkan). Dari Ibnu Hajar juga dinukil kandungan yang demikian dan riwayat ini dicatat oleh Ibnu Abi Dawud Nasa’i dengan sanad shahih dari Abdullah bin Umar.
Husain bin Ali bin Abi Thalib as juga berkata, Imam Ali as dalam sebuah ungkapan mengatakan: Bertanyalah kepadaku mengenai al-Quran sehingga aku katakan bahwa ayat-ayatnya turun berkenaan dengan siapa-siapa saja dan kapan.
Adapun untuk memahami urgensitas penjelasan urutan, kapan dan kondisi turunnya ayat-ayat, kami berikan dua contoh; salah satunya berkenaan dengan ahkam (hukum-hukum) dan satu lagi menyangkut sebab turun.
Dalam surat al-Baqarah kita memiliki dua ayat berkenaan dengan kematian dan hukum isteri-isteri yang salah satunya nasikh (menghapus) dan yang lain mansukh (yang dihapus). Akan tetapi ayat nasikh berada sebelum ayat mansukh (ayat nasikh adalah ayat 234 dan ayat mansukh 240). Untuk mengetahui manakah ayat nasikh dan manakah mansukh perlu mengenal persyaratan-persyaratan turunnya ayat, dan tentu saja semua orang mengetahui hukum nasikh dan mansukh semenjak masa pengumpulan dan penyusunan al-Quran hingga sekarang, dan malaikat wahyu juga menyampaikan tempat atau posisi ayat-ayat kepada Nabi saw. Dari Ibnu Abbas bahwa ketika ayat tertentu turun, malaikat wahyu berkata kepada Nabi saw, letakkanlah ayat ini di ujung ayat ini. Bagaimanapun, mengetahui urutan turunnya ayat-ayat memiliki urgensitas luar biasa dari sisi bahwa ayat nasikh dari mansukh dapat dikenal.
Contoh berikutnya mengenai sebab turunnya ayat. Sejarah perang Uhud dimuat dalam surat Aali ‘Imran. Mengenai bagaimana terjadinya perang Uhud ditanyakan kepada Abdurrahman bin ‘Auf atau sahabat lain Rasulullah saw dan ia mengembalikan kepada ayat-ayat setelah ayat 120 surat Aali ‘Imran, dan berkata: Jika engkau membacanya maka seolah-olah engkau ikut serta dalam perang ini bersama kami.
Di antara kejadian-kejadian perang Uhud adalah pada mulanya kemenangan diraih oleh kaum Muslimin akan tetapi setelah pengosongan lereng gunung oleh para pemanah dan serangan pasukan berkuda tentara musuh ke tempat itu, maka tekanan musuh menjadi berlimpah. Nabi saw memberikan perintah supaya kaum Muslimin naik dari lereng gunung depan dan bersandar ke gunung serta mundur karena ketidakkompakan sedikit pasukan.
Nabi saw berada di barisan belakang tentara dan beliau saw juga menaiki lereng gunung, akan tetapi beliau saw berada dalam serangan bahaya pasukan berkuda musuh yang sedang beraksi melakukan pembunuhan tanpa belas kasih.

Ayat 153 menunjukkan hal tersebut:

“ÅöÐú ÊõÕúÚöÏõæäó æó áÇ Êóáúæõæäó Úóáìþ ÃóÍóÏò æó ÇáÑøóÓõæáõ íóÏúÚõæßõãú Ýöí ÃõÎúÑÇßõãú ÝóÃóËÇÈóßõãú ÛóãøðÇ ÈöÛóãøò áößóíúáÇ ÊóÍúÒóäõæÇ Úóáìþ ãÇ ÝÇÊóßõãú æó áÇ ãÇ ÃóÕÇÈóßõãú æó Çááøóåõ ÎóÈöíÑñ ÈöãÇ ÊóÚúãóáõæäó”
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hingga di sini tidak ada permasalahan dan ayat-ayat menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut, akan tetapi secara tiba-tiba Allah swt mengecam orang-orang yang berpaling dari musuh dan melarikan diri, ayat 155:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau).
Maka jelas bahwa mereka adalah sekelompok dari tentara Islam, akan tetapi siapa-siapa mereka tersebut harus dijelaskan oleh pribadi tinggi seperti Ali as.
Dalam sirah (sejarah) paling kuno yang pengarangnya wafat pada tahun 207 H dan sirah Ibnu Ishaq terlihat, al-Maghazi Ibnu Syihab az-Zuhri dapat disaksikan dan seluruh riwayat menjadi bahan kajian dan dicatat serta dinyatakan: Ketika berita tentang terbunuhnya Nabi saw tersebar melalui lidah kaum kafir di tengah-tengah Muslimin, mereka bercerai berai dan sebagian telah sampai di Madinah dan orang pertama yang datang ke Madinah dan menceritakan berita tentang terbunuhnya Nabi saw adalah Sa’d bin Utsman yang berlaqab Abu ‘Ubadah. Setelah itu sekelompok lain masuk ke kota menuju isteri-isteri mereka. Para isteri mencaci mereka dan mengatakan, kalian melarikan diri dari sisi Rasulullah saw. Salah seorang wanita adalah Ummu Aiman yang dalam menghadapi sekelompok orang melemparkan tanah ke muka mereka, dan mengatakan kepada salah seorang dari mereka: Kemarilah, ambil lipatan ini dan lipatlahlah serta berikan pedangmu kepadaku. Setelah itu ia pergi ke Uhud bersama sekelompok wanita.
Namun pada arah berlawanan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok dari kaum Anshar yang nama-nama mereka tercatat seluruhnya dalam sejarah berperang melawan musuh dengan gigih dan menjaga Nabi saw.
Nashibah puteri Ka’b Ummu ‘Umarah yang datang ke medan perang sebagai pemberi minum dan perawat ketika melihat gigi dan dahi Nabi saw retak, dada Nabi saw terluka, ia mengangkat pedang dan membunuh beberapa orang. Ia sendiri dan beberapa orang anggota keluarganya bertahan dalam perang itu.
Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat pemberani, menjadikan tangannya sebagai tameng supaya pedang Ibnu Qumaishah tidak turun di pundak Nabi saw sehingga jarinya terpotong dan sampai akhir umurnya menjadi saksi pembelaannya kepada Nabi saw. Dalam kondisi seperti itu Nabi saw terjatuh ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Rahib (yang dijuluki oleh Nabi saw sebagai munafik) dan ditutupi permukaannya, seorang bernama Syimas bin Utsman menjadikan dirinya sebagai tameng melindungi Nabi saw di hadapan pedang-pedang yang menebas ke arah Nabi saw dan syahid di tempat itu. Mereka adalah para pahlawan kejadian tersebut. Akan tetapi sekelompok orang juga melarikan diri sehingga Nabi saw bersabda kepada Nashibah, pahlawan wanita yang bekas-bekas tebasan pedang musuh membekas pada tubuhnya hingga akhir hayatnya: “Perbuatanmu lebih baik daripada orang-orang yang melarikan diri (disebutkan nama-nama mereka).”
Di lobang tersebut, sementara lutut suci Nabi saw terluka dan beliau saw tidak dapat berdiri, Ali as mengambil tangan beliau saw dan Thalhah meraih bawah pundak beliau saw dan pergi ke atas lereng gunung, dan ketika itulah kaum Muslimin juga sampai, dan mengelilingi serta melindungi Nabi saw dari musuh.
Apapun yang terjadi, sya’n nuzul secara detail menjelaskan bahwa siapakah orang-orang tersebut dan ayat-ayatnya berkata apa. Hal ini sedemikian jeli hingga dalam perang ini salah seorang dari kaum Muslimin yang memiliki permusuhan dengan yang lain membunuhnya secara tiba-tiba. Setelah beberapa waktu berlalu, ketika mereka menangkapnya Nabi saw menghakiminya dan menghukumnya dengan hukuman mati. Apapun yang terjadi, orang-orang yang bertahan, para pahlawan dan orang-orang yang melarikan diri namanya tertulis dengan terperinci dalam tafsir-tafsir dan juga dalam kitab-kitab hadis shihah terutama shahih Bukhari.
Khalid bin Walid (panglima tentara pasukan berkuda yang menyerang dan membunuh banyak kaum Muslimin) setelah beberapa waktu ketika masuk Islam berkata di Syam: Aku bersyukur kepada Allah karena telah memeluk Islam dan Allah telah memberikan hidayat kepadaku, dan setelah itu berkata, kesaksianku dalam perang Uhud adalah bahwa kaum Muslimin melarikan diri, aku melihat seorang kerabat yang melarikan diri sendirian. Aku berada dalam kepemimpinan tentara berkuda yang kuat. Karena aku masih berkerabat dengannya, maka aku khawatir bila aku mendekatinya, maka tentara akan menangkap dan membunuhnya, oleh karena itu aku membelokkan arah sehingga ia tidak terlihat tentara.
Demikian juga dalam sirah Ibnu Hisyam, dalam kitab Waqidi dan seluruh shihah terdapat bahwa Anas bin Nadhar, paman Anas bin Malik, melihat seorang sahabat yang sedang duduk-duduk dengan sekelompok orang. Ia bertanya kenapa mereka duduk, mereka menjawab, Rasulullah saw telah terbunuh. Ia berkata, setelah beliau saw untuk apa kalian ingin hidup. Bangkitlah dan berperanglah demi apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah hingga terbunuh. Ketika itu sahabat tersebut berdiri dan berperang hingga terbunuh dan tampak puluhan luka di badannya.
Di sinilah jelas bahwa penulisan sya’n nuzul oleh Ali as memberikan manfaat apa. Supaya hak para pahlawan yang membela Nabi saw seperti Thalhah bin Ubaidillah tidak disia-siakan dan jelas siapa saja yang melarikan diri. Maka ketika itu sekelompok penulis resep berkhianat dan menghapus sebagian nama-nama. Silahkan amati nama-nama yang kami nukil dari kitab Waqidi ini apa yang mereka lakukan dan usaha Amirul Mukminin Ali as bernilai apa dalam menghapus kepalsuan-kepalsuan. Bila ini tidak ada, kita tidak dapat memahami kejadian-kejadian yang berlangsung. Akan tetapi mereka tidak membiarkan tafsir Amirul Mukminin as dengan urutan turun, sebab dan kejadian-kejadiannya tersebar. Sebagian sahabat setia mempelajari sebagian hal tersebut dan terdapat dalam sejarah dan tafsir-tafsir seperti kisah Anas bin Nadhar.
Sangat disayangkan sekali mereka ingin menyingkirkan orang yang membela dan menyelamatkan Nabi saw dari kebinasaan tersebut dan ingin meninggikan orang-orang yang melarikan diri. Mereka tidak membiarkan keterangan al-Quran dan tafsir Ali bin Abi Thalib as tersebar. Imam Ali as setelah perang Jamal, ketika memasuki Bashrah, datanglah seorang Badui dan menjelek-jelekkan Thalhah. Imam Ali as menegornya dan berkata, engkau tidak ada dalam perang Uhud dan tidak melihat bagaimana ia berkhidmat dan kedudukan dan tingkatan apa yang dimiliki di sisi Allah swt. Orang tersebut merasa malu dan terdiam. Orang lain bertanya, khidmat apa yang dilakukan? Beliau as menjawab, ia menjadikan dirinya sebagai perisai Nabi saw sementara dari setiap arah datang tebasan pedang dan tusukan tombak. Dari satu arah aku dan dari arah lain Abu Dujanah membuat mundur para penyerang sementara Sa’d bin Abi Waqqash dari arah lain. Aku dengan sendirian membuat mundur tentara berkuda yang dikomando oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal sementara mereka mengepungku dari setiap penjuru dan untuk kedua kalinya aku mendesak mereka mundur dan aku kembali…
Di sinilah penjelasan dan tafsir Ali bin Abi Thalib as menyelamatkan al-Quran dari perubahan maknawi, dan sebagaimana mestinya beliau as menyampaikannya kepada generasi-generasi dan murid-murid beliau as seperti Ibnu Abbas dan yang setelahnya membawanya ke hadapan kita.
Ya Allah! Jadikanlah kami menghargai nikmat wilayah Amirul Mukminin Ali as. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

[1] QS. Al-Haaqqah (69): 12.
 

Makrifat ttg pondan dan sebabnya, Kitab al-Haft al-Syarif diriwayatkanoleh al-Mufadhdhal, w.150, daripada Imam Ja'far as




☼Makrifat tentang pondan dan sebabnya (fi ma‘rifati al-Ma’buun wa al-sabab fi dhalika)☼

       Al-Mufadhdhal telah berkata: Aku telah bertanya Maulaaya al-Sadiq a.s tentang bagaimana seorang lelaki suka bernikah [dengan lelaki] sebagaimana perempuan menyukainya [dengan perempuan] dan dia terus melakukannya? Al-Sadiq a.s telah berkata: Sesungguhnya anda telah bertanya, wahai Mufadhdhal, tentang ahli najis kemudian ahli kotoran, sesungguhnya Allah tidak menguji seorang daripada para wali-Nya, Syiah kita dan mukminin dengan perkara tersebut.
       Wahai Mufadhdhal, penyakit ini terlepas daripada mukminin selain daripada musuh kita dan musuh Syiah kita. Bagaimana Allah menguji mukmin dengan penyakit ini sedangkan mereka suci? Adapun perempuan mukminat di kalangan Syiah kita, mereka adalah suci dan jauh daripada najis. Sesiapa yang mengingkari wilayah Amir al-Mukminin atau memarahi di dalam hatinya seorang daripada para wali-Nya, maka Allah mengujinya dengan penyakit najis ini. Al-Mufadhdhal telah berkata: Wahai Maulaaya, berita telah sampai kepadaku tentang seorang lelaki yang mempunyai penyakit ini, tetapi dia menyebut di dalam percakapannya bahawa dia mewalikan Amir al-Mukminin, apakah anda fikir tentang kata-katanya itu?
       Al-Sadiq a.s telah berkata: Dia telah berbohong, demi Yang telah memecahkan biji-bijian dan membebaskan jiwa-jiwa, sesungguhnya Amir al-Mukminin kadang-kadang dicintai juga oleh kafir. Kafir dan mukmin yang mencintainya bebas daripada penyakit ini.
       Nama ini tidak layak untuk orang lain dan orang yang menamakan dengan nama ini diuji anaknya. Aku telah berkata: Wahai Sayyidi, apakah nama ini? Beliau a.s telah berkata: Nama Amir al-Mukminin, kerana seorang itu tidak harus menamakan dirinya [Amir al-Mukminin] melainkan Ali bin Abi Talib. Sesungguhnya asal perkara ini, wahai Mufadhdhal, telah berlaku pada pusingan yang pertama. Al-Mufadhdhal telah berkata: Apakah yang telah berlaku kepada lelaki pondan ini? Al-Sadiq a.s telah berkata: Asalnya dia adalah seorang perempuan jahat yang terkenal dengan kejahatan pelacurannya, tidakkah anda telah mendengarnya?
       Al-Mufadhdhal telah berkata: Ya, wahai Maulaaya, maka al-Sadiq a.s telah berkata: Sesungguhnya perempuan ini jika dikembalikan kepada pusingan kedua, dia dikembalikan sebagai seorang lelaki, lalu dijadikan qubulnya (farajnya) sebagai duburnya, maka ia menjadi [tempat] syahwat nikah ke atasnya daripada perempuan yang pertama dan inilah perempuan jahat itu. Dan apa yang anda telah mendengarnya tidak berlaku melainkan pada benda kotor (najis)[1] sebagaimana aku telah memberitahu kepada anda. Sebabnya, sebagaimana aku telah memberitahu kepada anda, kerana memarahi Amir al-Mukminin Ali bin Abu Talib, memarahi Syiahnya dan mencintai musuh-musuhnya.
       Allah tidak menjadikan najis ini pada seorang yang dikhususkan dengan makrifat dan mengakui keesaan-Nya dan mencintai Ahlul Bait. Maka inilah apa yang aku telah memberitahu kepada anda mengenainya daripada soalan anda tentang cinta orang yang mengaitkannya dengan Amir al-Mukminin. Cinta ini tidak menjadi bersih, kerana hatinya mempunyai perasan hasad kepadanya. Dan Allah Maha Alim dan kepada-Nya kita bertawakal.  Wa s–Salam.


[1] Persetubuhan dilakukan pada tempat najis (dubur) sebagai ganti farajnya.


 

Hadis Abu al-Hasan Musa Bin Ja’far A.S Dengan Harun al-Rasyid, al-Ikhtisas oleh Syeikh al-Mufid, w. 413 H



Hadis Abu al-Hasan Musa Bin Ja’far A.S Dengan Harun al-Rasyid

       Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad daripada Ahmad bin Idris daripada Ahmad bin Idris daripada Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ismail al-‘Alawi berkata: Muhammad bin Zaburkhan al-Damighani  syeikh telah memberitahu aku bahawa dia berkata: Abu al-Hasan Musa bin Ja‘far a.s berkata: Harun al-Rasyid telah memerintahkan mereka supaya membawaku kepadanya. Maka aku berjumpa dengannya dan memberi salam kepadanya, tetapi al-Rasyid tidak menjawab salam aku. Aku  melihatnya begitu marah. Al-Rasyid mencampakkan scroll kepadaku dan berkata: Bacalah. Maka aku dapati padanya mengenai firman Allah s.w.t yang menyangkut pelepasan aku (bara’ati) daripadanya sebagaimana berikut:            
       Sesungguhnya Musa bin Ja‘far telah memungut Kharaj di seluruh negara daripada pelampau-pelampau syi‘ah yang percayakan kepimpinannya sebagai kepercayaan agama. Mereka menyangka bahawa Musa a.s. telah mewajibkannya ke atas mereka sehingga Allah mewariskan bumi ini kepada sesiapa yang dikehendaki-Nya. Mereka menyangka bahawa jika seseorang tidak menyerahkan zakat kepada para Imam, mengerjakan solat tanpa mengakui imamahnya. Mengerjakan haji bukan dengan izin imam, tidak berjihad dengan perintah imam, tidak menyerahkan harta rampasan kepada imam, bahkan tidak mengutamakan para imam di atas semua makhluk dan mewajibkan ketaatan kepada mereka seperti ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada rasul-Nya, maka dia adalah kafir. Halal darahnya. Dalam surat itu juga mengandungi perkara-perkara yang tidak sedap didengar seperti Mut‘ah tanpa saksi dan penghalalan kemaluan (furuj) dengan perintahnya sekalipun dengan satu dirham, pelepasan diri daripada Salaf, melaknat mereka di dalam solat, mereka menyangka bahawa  siapa yang melepaskan dirinya daripada mereka, maka tercerailah isterinya daripadanya.
       Dan siapa yang melengah-lengahkan solat sehingga akhir waktunya, maka tidak ada solat baginya kerana firman Allah s.w.t Surah Maryam(19): 59 “mereka mensia-siakan solat dan mengikut hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. Mereka menyangka bahawa terdapat satu lembah di neraka Jahanam...Surat itu adalah panjang, aku berdiri membacanya sedangkan beliau (Harun) diam. Kemudian Al-Rasyid mengangkat kepalanya dan berkata: Anda telah selesai membacanya. Berilah pendapat anda mengenainya. Maka aku berkata: Wahai Amir al-Mukminin, demi Yang telah mengutus Muhammad s.a.w dengan kenabian sesungguhnya tiada seorang pun yang telah membawa kepada aku walaupun satu dirham atau satu dinar sebagai Kharaj.
       Tetapi kami daripada keluarga Abu Talib menerima hadiah yang telah dihalalkan Allah  s.w.t kepada Nabi-Nya s.a.w sebagaimana dalam sabdanya: Jika aku dihadiahkan dengan betis binatang (kura’), nescaya aku menerimanya …” Amir al-Mukminin telah  mengetahui tentang kesempitan kami mengenainya, betapa ramainya musuh kami, penahanan khums kami oleh Salaf yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an tentang hak kami. Perkara ini telah menyempitkan keadaan kami, sedangkan sedekah diharamkan ke atas kami. Justeru itu, Allah s.w.t. telah menggantikan sedekah dengan khums kepada kami. Lantaran itu, kami terpaksa menerima hadiah. Semuanya itu telah diketahui oleh Amir al-Mukminin. Setelah hujah aku selesai, dia terdiam. Kemudian aku berkata: Jika aku fikir Amir al-Mukminin membenarkan sepupunya (ibn ‘amm-hi) mengemukakan hadis daripada bapa-bapanya daripada Nabi s.a.w seolah-olah dia telah mendapat harta rampasan perang, maka dia akan melakukannya.
       Al-Rasyid berkata: Anda dibenarkan dan silakan. Aku berkata: Bapa aku telah memberitahu aku daripada datuk aku secara marfu’ kepada Nabi s.a.w bahawa sesungguhnya rahim apabila tersentuh rahim, maka ia bergerak dan gementar. Sekiranya anda izin supaya aku memegang tangan anda. Maka Al-Rasyid memberi isyarat dengan tangannya kepada aku. Dia berkata: Tampil ke sini!. Maka aku menghampirinya. Lalu beliau berjabat tangan denganku dan menarik aku kepadanya seketika. Kemudian dia berpisah  daripadaku dengan dua matanya yang berlinang.  Dia berkata kepada aku: Duduklah, Musa anda tidak ada apa-apa bahawa anda memang benar dan memang benar datuk anda dan memang benar Nabi s.a.w .
       Sesungguhnya darah aku bergerak dan urat saraf aku gementar dan ketahuilah bahawa sesungguhnya anda adalah  daging aku dan darah aku. Sesungguhnya apa yang anda telah memberitahu kami adalah benar. Aku ingin bertanyakan anda satu soalan. Jika anda memberi jawapan kepadaku. Aku mengetahui bahawa anda telah membenarkan kata-kataku dan aku melepaskan anda. Aku akan menghubungi anda. Aku tidak akan percaya lagi apa yang dikatakan orang ramai tentang anda. Aku berkata: Apa yang aku tahu aku akan memberi jawapan kepada anda.
       Beliau berkata: Kenapa anda tidak melarang syi‘ah anda daripada kata-kata mereka kepada anda:Ya Ibn Rasulillah! (Wahai anak lelaki Rasulillah) sedangkan anda adalah anak lelaki Ali dan Fatimah. Sesungguhnya Fatimah adalah ibu. Anak (ldinisbahkan kepada bapa  dan bukan kepada ibunya?
       Aku berkata: Jika Amir al-Mukminin izin dan akan memaafkan aku bagi jawapan ini,  maka aku akan menjawabnya.
       Al-Rasyid berkata: Aku tidak akan melakukannya atau menyahuti jawapan itu. Aku berkata: Aku di dalam keamanan anda supaya anda tidak mengenakan sebarang tindakan kekuasaan ke atasku?. Al-Rasyid berkata: Keamanan buat anda. Aku berkata: Aku mohon perlindungan daripada Syaitan yang direjam, dengan nama Allah Yang amat Pemurah lagi Pengasih. Firman-Nya di dalam Surah al-An‘am(6):84-5 “Dan kami telah menganugrahkan Ishak dan Ya‘qub kepadanya.Kepada keduanya masing-masing kami telah memberi petunjuk, dan kepada Nuh sebelum itu juga kami telah memberi petunjuk dan kepada sebahagian daripada keturunannya (Nuh) iatu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik, dan Zakaria,Yahya,Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang soleh”.
       Siapakah bapa Isa? Al-Rasyid berkata: Ia tidak mempunyai bapa kerana ia dijadikan daripada kalam Allah s.w.t dan Roh Kudus. Aku berkata: Sesungguhnya Isa dikaitkan dengan zuriat para nabi a.s di pihak Maryam maka kami dikaitkan dengan zuriat para nabi di pihak Fatimah a.s  bukan daripada pihak Ali a.s.
       Al-Rasyid berkata: Bagus wahai Musa, beritahu aku lagi perkara seumpamanya? Aku berkata: Umat sama ada yang baiknya  dan yang jahatnya telah bersepakat bahawa hadis Najrani ketika Nabi s.aw menyerunya untuk bermubahalah. Pada ketika itu, tidak masuk di dalam  al-Kisa’ (kain) selain daripada Nabi s.a.w, Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husain a.s, Allah s.w.t berfirman di dalam Surah Ali Imran (3): 61 “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu “Mari kita memanggil anak anak kami(abna-ana), wanita-wanita kami (nisaana)dan wanita-wanita kamu (nisaa-kum),diri kami(anfusa-nadan diri kamu (anfusa-kum)”. Pengertian abnaa-na adalah al-Hasan dan al-Husain, nisaa-na adalah Fatimah dan anfusa-na  adalah Ali bin Abu Talib a.s.
       Al-Rasyid berkata: Bagus wahai Musa. Beritahuku tentang kata-kata anda: Paman atau bapa saudara sebelah bapa (al-‘Ammu) tidak menerima pusaka jika ia bersama  anak lelaki sebenar( walad al-Sulbi) si mati.
       Aku berkata: Aku pohon dengan hak Allah dan hak rasul-Nya  supaya anda memaafkan aku dari takwilan ayat ini dan mendedahkannya  kerana ia tersembunyi di sisi para ulama.
       Al-Rasyid berkata: Sesungguhnya anda telah memberi jaminan kepada aku untuk menjawab soalan aku dan aku tidak akan memaafkan anda.
       Aku berkata: Jamin keamanan untuk aku?  Al-Rasyid berkata: Aku menjamin keamanan anda.
       Aku berkata: Sesungguhnya Nabi s.a.w tidak mewariskan harta kepada mereka yang mampu berhijrah tetapi mereka tidak berhijrah. Bapa saudara aku (‘ammi) al-Abbas telah mampu berhijrah tetapi dia tidak berhijrah. Sesungguhnya dia adalah di kalangan orang tawanan di sisi Nabi s.a.w. Dia juga telah mengingkari pembayaran wang tebusan (al-Fida’) untuk dirinya. Justeru itu, Allah telah berfirman kepada Nabi s.a.w memberitahunya tentang penyimpanan emas yang dilakukan oleh al-Abbas.  Baginda s.a.w telah mengutus Ali a.s, lalu dia mengeluarkannya  di sisi Ummi al-Fadhl. Baginda s.a.w. telah memberitahu al-Abbas tentang apa yang telah diberitahu Jibrail daripada Allah s.w.t.
       Lantaran itu, Baginda s.a.w. telah membenarkan Ali a.s dan memberitahunya tentang tempat yang ditanamnya. Al-Abbas berkata kepada Nabi s.a.w ketika itu: Wahai anak saudaraku!  Supaya aku tidak hilang lebih banyak lagi daripada anda, maka aku naik saksi bahawa anda adalah Rasulullah, Tuhan seluruh alam semesta.  Ali a.s membawa emas tersebut.  Al-Abbas berkata: Tidakkah anda telah membuatkan aku menjadi fakir wahai anak saudaraku? Maka Allah berfirman di dalam Surah al-Anfal (8):70 “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, nescaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik daripada apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu” Dan firman-Nya di dalam Surah al-Anfal (8):72 “dan orang-orang yang beriman,tetapi belum berhijrah,maka tidak berkewajiban sedikitpun ke atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah”.
       Kemudian Dia berfirman “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka kamu wajib memberi pertolongan”, maka aku telah melihatnya berpuas hati mengenainya.
       Kemudian Al-Rasyid berkata: Beritahu aku dari manakah anda berkata: Sesungguhnya manusia akan dimasuki kerosakan (yadkhulu-hu al-Fasad) dari pihak wanita jika khums  tidak dibayar kepada mereka yang berhaknya?
       Aku berkata: Aku akan memberitahu anda, wahai Amir al-Mukminin, dengan syarat anda tidak mendedahkan perkara ini kepada sesiapapun selama aku masih hidup sekalipun kepada orang yang terdekat.  Allah telah membezakan di antara kami dan mereka yang telah menzalimi kami, perkara ini tidak pernah disoal oleh seorang pun di kalangan pemerintah selain daripada Amir al-Mukminin.
       Al-Rasyid berkata: Bukan Taim[1], bukan ‘Adi[2], bukan Bani Umayyah dan bukan seorang pun daripada bapa-bapa kami?
       Aku berkata: Aku tidak pernah ditanya dan begitu juga dengan Abu Abdullah Ja‘far bin Muhammad tidak pernah ditanya mengenainya.
       Al-Rasyid berkata: Allah. Aku pun berkata: Allah.
       Al-Rasyid berkata: Jika sampai kepadaku pendedahan ini sama ada daripada anda atau daripada seorang daripada keluarga anda, maka aku akan menarik balik jaminan keamanan yang aku telah berikan kepada anda.
       Aku berkata: Anda boleh melakukannya kepada aku.
       Maka Al-Rasyid berkata kepadaku: Aku suka jika anda menulis untuk aku kata-kata ringkas, mengandungi usul dan furu’, difahami tafsirnya yang anda telah mendengarnya daripada Abu Abdullah a.s?
       Aku berkata: Ya! Di atas tanggung jawab aku, wahai Amir al-Mukminin.  Al-Rasyid berkata: Apabila anda selesai melakukannya, maka beritahu kami keperluan anda.
       Musa a.s. berkata: Al-Rasyid telah mewakilkan kepadaku seorang lelaki yang menjaga aku dan menghantar kepada aku satu hidangan makanan pada setiap hari, maka aku menulis seperti berikut:
       Bismillahi r-Rahmani r-Rahim. Semua urusan dunia terbahagi kepada dua. Pertama: Perkara yang tidak ada khilaf tentangnya, iaitu ijmak umat secara darurat.  Mereka terpaksa melakukannya. Setiap syubhah dan setiap peristiwa yang berlaku hendaklah dibentangkan kepada hadis-hadis yang disepakati dan diistinbatkan daripadanya.       Kedua: Perkara yang mengandungi syak dan ingkar. Caranya ialah meminta keterangan daripada pakar mengenainya. Apa yang telah tetap (thabata) bagi pengikut-pengikutnya daripada kitab yang disepakati takwilnya atau daripada Sunnah  Nabi s.a.w yang tidak ada khilaf padanya, maka mereka boleh beramal dengannya. Adapun  kias di mana akal mengetahui penyelewengannya, hendaklah mereka  menolaknya.
       Adapun  perkara yang belum tetap (lam yathbut) bagi pengikut-pengikutnya sebagai hujah daripada kitab yang disepakati takwilnya  atau  daripada Sunnah Nabi s.a.w  yang  tidak ada khilaf mengenainya atau kias di mana akal mengetahui penyelewengannya, maka mereka  wajib menolaknya kerana ia akan  meluaskan perasaan syak dan ingkar ke atas umat secara umum dan khusus. Demikianlah dua perkara ini yang merupakan sebahagian daripada urusan Tauhid, maka apa yang selain daripadanya, buangkanlah. Adapun perkara yang telah tetap buktinya kepada anda, maka anda ambillah. Dan apa yang kabur cahayanya kepada anda, maka anda buangkanlah, La Quwwata illa bi l-Lah wa Hasbu-na l-Lah wa Ni’ma l-Wakil.
 Kemudian aku telah memberitahu wakil tersebut bahawa aku telah melaksanakan keperluannya. Lantas dia memberitahu kepada Harun al-Rasyid. Maka dia berjumpa denganku. Aku membentangkan kepadanya. Dia berkata: Ahsan-ta! Anda telah melakukan perkara yang baik, ia adalah kata-kata yang ringkas dan menyeluruh, maka beritahu keperluan anda kepada kami wahai Musa. Aku berkata: Wahai Amir al-Mukminin! Keperluan aku yang pertama kepada anda adalah supaya anda membenarkan aku pulang kepada keluargaku kerana aku telah meninggalkan mereka dalam keadaan menangis berputus asa untuk melihat aku. Al-Rasyid berkata: Anda dibenarkan. Al-Rasyid berkata: Tambahkan lagi kata-kata anda. Aku berkata: Allah memanjangkan umur Amir al-Mukminin untuk kami semua. Maka Al-Rasyid berkata: Tambahkan lagi. Aku berkata: Aku mempunyai keluarga yang besar, mata kami sentiasa melihat kepada kelebihan Amir al-Mukminin. Maka dia telah memerintahkan supaya aku diberi seribu dirham dan pakaian serta membawa aku kepada keluarga aku secara hormat[3].

 Abu al-Hasan Musa A.S, Harun al-Rasyid  dan al-Fadhl Bin Rabi’

 Hamdan bin al-Husain al-Nahawandi berkata: Ibrahim bin Ishaq al-Nahawandi telah memberitahu  kami berkata: Ahmad bin Ismail Abu  ‘Umar telah memberitahu aku berkata: Abdullah bin Salih telah memberitahu aku berkata: Al-Fadhl bin al-Rabi‘ telah memberitahuku berkata: Aku telah berada di atas hamparanku. Aku telah berkhalwat bersama hamba perempuan aku. Tiba-tiba aku mendengar suara tapak kaki. Aku berkata: Siapakah itu? Hamba perempuan aku berkata: Angin, aku pun bergerak kepadanya, tiba-tiba seorang lelaki berbadan besar berkata: Beri jawapan kepada Amir al-Mukminin[4].
       Maka aku keluar kepadanya dalam keadaan takut. Dia berkata kepada aku: Wahai Fadhl! Bebaskan Musa bin Ja‘far sekarang juga dan berikan kepadanya lapan puluh ribu dirham, lima helai pakaian dan bawanya keluar pada waktu zuhur. Aku berkata: Wahai Amir al-Mukminin! Musa bin Ja‘far?  Dia berkata: Ya! Celaka anda, adakah anda mahu aku membatalkan janji aku? Aku berkata: Wahai Amir al-Mukminin! Apakah janji itu? Dia berkata: Ketika aku berada di tempat tidur aku, tiba-tiba  seorang  yang berbadan besar, berkulit hitam  tetapi aku tidak pernah melihat orang sebesar itu. Dia telah melompat ke atas dada aku dan memegang tengkukku sambil berkata: Adakah anda telah menahan Musa bin Ja‘far secara zalim? Aku berkata: Aku akan membebaskannya sekarang juga. Dia membuat perjanjian dengan nama Allah supaya aku membebaskannya.
       Dia bangun dari dada aku. Nyawa aku hampir keluar. Al-Fadhl berkata: Maka aku keluar di sisinya dan aku mendapati Musa bin Ja‘far di Musalanya, aku telah menyampaikan kepadanya salam Amir al-Mukminin. Aku telah memberitahu kepada Musa bin Ja‘far apa yang diperintahkan kepadaku mengenainya. Musa a.s. berkata: Tidak perlu kepada harta, pakaian dan bekalan jika ianya daripada hak umat. Aku berkata: Aku menyeru dengan nama Allah supaya anda tidak menolaknya kerana Amir al-Mukminin akan memarahi anda. Musa a.s. berkata: Buatlah apa yang anda mahu. Maka aku pun memegang tangannya dan mengeluarkannya dari penjara. Aku berkata kepadanya: Wahai putera Rasulullah ! Hak aku adalah wajib di atas anda kerana aku bersyarikat dengan anda.  Allah melakukannya melalui tanganku. Beliau a.s. berkata: Aku telah melihat Rasulullah di dalam tidurku pada malam  Rabu. Baginda s.a.w. bersabda kepada aku: Wahai Musa anda ditahan dan dizalimi?.
 Aku berkata: Ya! Wahai Rasulullah, aku ditahan dan dizalimi. Baginda s.a.w telah mengulanginya kepadaku selama tiga kali. Kemudian Baginda s.a.w. bersabda lagi: Mudah-mudahan ia adalah fitnah kepada mereka dan berseronok hanya buat seketika sahaja, berpuasalah esok  hari dan ikutilah dengan puasa hari Khamis dan Jumaat. Apabila masuk waktu berbuka, maka kerjalah solat dua belas rakaat. Anda perlu membaca di dalam setiap rakaat “al-Hamdu” dan “Qul Huwa l-Lahu Ahad” dua belas kali. Demikian juga bacaannya pada rakaat yang kedua. Apabila anda selesai daripada solat anda, maka katakanlah: Wahai Tuhanku! Wahai Penutup segala keaiban dan Pendengar segala suara (Allahumma Ya Saatira l-‘Uyaub Ya Saami‘a Kulli  Sautin)[5] 



[1] Abu Bakr.

[2] ‘Umar.

[3] Al-Hasan bin  ‘Ali bin Syu‘bah, Tuhaf al ‘Uqul,  hlm.406.

[4] Harun al-Rasyid.

[5] Al-Majlisi,Bihar al-Anwar,  xi, 396.