Makna “al-Qurba” pada ayat 23 surah Syura
Apabila maksud pembicara dari sebuah redaksi atau kata-kata yang digunakan di dalamnya tidak jelas, pada setiap proposisi dan kalimat, maka ia harus ditelusuri pada indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat menjelaskan maksud dari ucapannya itu. Terkait dengan ayat 23 surah al-Syura “Qul laa as’alukum ‘alaih ajran illa mawaddata fil qurbah” padanya terdapat indikasi-indikasi dan tanda-tanda yang membimbing dan membantu kita untuk memperoleh maksud yang sebenarnya dari firman Allah tentang al-Qurba.
1. Sesuai penjelasan pakar bahasa, redaksi al-Qur’ba bermakna kekerabatan dan kedekatan pada nasab (garis keturunan). Sebagaimana hal ini disebutkan dalam al-Qur’an yang selaras dengan makna ini. Namun selain yang ayat yang menjadi obyek pertanyaan, pada ayat-ayat lainnya, pelbagai redaksi “dzi” atau “dzawi” atau “uli” digunakan padanyaidhâfa (tambahan dan hubungan). Dengan idhâfa (tambahan) ini maka kandungan dzawil qurba itu akan bermakna kekerabatan. Dengan demikian, pada ayat yang menjadi obyek pembahasan para periset memandang redaksi “ahl” atau “dzawi” dan lainya sebagai implisit (muqaddar, tidak tercetuskan dalam ucapan atau tulisan).
Dengan demikian, kita tidak dapat menerima penafsiran bahwa “al-Qurba” itu bermakna kedekatan kepada Allah atau makna yang lainnya.
2. Indikasi-indikasi menjadi bukti atas hal ini bahwa maksud kerabat pada ayat dzawil qurba adalah kerabat nabi dan ayat tidak bermakna bahwa wajib bagi setiap kaum Muslimin untuk mencintai keluarganya sebagai ganjaran risalah.
3. Penyebutan kata kerja “laa as’alukum” merupakan petunjuk bahwa maksud dari “dzawil qurba” di sini adalah kerabat orang yang bertanya. Dan hal ini adalah penentuan pemilik kekerabatan melalui jalan penentuan mansub ilahi (yang disandarkan kepadanya) sebagaimana ayat-ayat 113 surah al-Taubah dan ayat 7 surah al-Hasyr dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
4. Dengan sedikit menelisik pada ayat-ayat yang terkait dengan upah risalah maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa maksud dari “al-qurba” adalah Ahlulbait Nabi Saw; karena al-Qur’an dari satu sisi menegaskan adanya tuntutan upah dari Nabi Saw dan menafikan adanya tuntutan dari nabi-nabi lain. Dari sisi kedua, al-Qur’an terkait dengan Nabi Saw menyatakan: Aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan (kalian) kepada keluargaku. Dari sisi ketiga, terkabulkanya doa Nabi Saw dan tuntutan upah risalah. Dari sisi keempat, Allah Swt memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada masyarakat: Upah yang aku minta dari kalian adalah untuk kalian dan upah dan ganjaranku pada Tuhan. Dan dengan melampirkan ayat-ayat ini, kita sampai pada kesimpulan sedemikian bahwa: Dzawil Qurba merupakan jalan Ilahi dan mengayunkan langkah di jalan Ilahi ini adalah untuk kepentingan manusia (itu sendiri) dan mengikuti dzawil qurba merupakan contoh nyata penerimaan seruan Ilahi. Dan pada akhirnya, dari riwayat-riwayat standar dapat kita simpulkan bahwa: Hanya Ahlulbait Nabi Saw yang menikmati keutamaan seperti ini.
5. Terdapat banyak riwayat dari Nabi Saw terkait dengan penafsiran ayat ini dimana yang dimaksud dengan al-qurba di sini adalah Ahlulbait Nabi Saw.
Apabila maksud pembicara dari sebuah redaksi atau kata-kata yang digunakan di dalamnya tidak jelas, pada setiap proposisi dan kalimat, maka ia harus ditelusuri pada indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat menjelaskan maksud dari ucapannya itu. Terkait dengan ayat 23 surah al-Syura “Qul laa as’alukum ‘alaih ajran illa mawaddata fil qurbah”[1] padanya terdapat indikasi-indikasi[2] dan tanda-tanda yang membimbing dan membantu kita untuk memperoleh maksud yang sebenarnya dari firman Allah tentang al-Qurba.
1. Redaksi “al-Qurba” sesuai dengan penjelasan pakar bahasa bermakna kedekatan dan kekerabatan pada nasab (garis keturunan).[3] Dalam al-Qur’an digunakan untuk orang-orang yang memiliki kedekatan dan kekerabatan, intinya adalah kekerabatan dan kekeluargaan. Karena itu terkadang redaksi “dzi” yang ditambahkan kepadanya,[4] terkadang “dzawi”[5] dan terkadang dengan lafaz “uli”.[6] Dan hanya sekali datang tanpa tambahan (hubungan). Dan yang satu ini merupakan obyek pertanyaan dalam kesempatan ini “…illla mawaddah fil qurba…” Dengan demikian lafaz seperti “ahl” [7] atau “dzi” atau “dzawi” dan sebagainya sebelum redaksi “al-Qurba” disebutkan secara implisit (muqaddar). Dan makna “al-mawaddah fil qurba”, kecintaan (mawaddah) kepada kerabat dan keluarga Nabi Saw yaitu Ahlulbait Nabi Saw.
Artinya, penafsiran sebagian mufassir yang memaknai “qurba” pada ayat di atas adalah kedekatan kepada Allah Swt,[8] tidak benar adanya.[9] Karena berasaskan penafsiran ini, redaksi qurba akan bermakna yang mendekatkan bukan kedekatan dan hal ini berseberangan dengan sesuatu yang disampaikan oleh pakar bahasa.
Di samping itu, makna sedemikian akan menyebabkan kekaburan pada ayat. Sebagai kesimpulannya, kaum musyrikin tidak dapat menjadi obyek bicara ayat. Karena mereka tidak mengingkari kedekatan kepada Allah, melainkan menyembah berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka pandang sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.[10]
Boleh jadi dikatakan bahwa “al-qurba” merupakan mashdar (derivat) dan mashdar ini bermakna kedekatan dan kekerabatan bukan bermakna kerabat. Dan “fii” juga bermakna kausatif (sababiyat). Sesuai dengan pandangan ini, terdapat tiga kemungkinan dalam kandungan ayat tersebut:
A. Obyek bicara ayat adalah Quraish yang diminta dari mereka: Apabila kalian tidak beriman kepada Nabi Saw, setidaknya kalian mecintainya dan tidak mengganggunya karena kekerabatan dan kedekatan kepadanya.
B. Obyek bicara ayat adalah kaum Anshar dan diminta untuk mecintai mereka karena kekeluargaan dan kekerabatan Nabi Saw dengan mereka.[11]
C. Obyek bicara ayat adalah kaum Quraish dan maksud “al-mawaddah fil qurba” adalah kecintaan Nabi Saw bukan kecintaan Quraish. Artinya wahai Quraish aku tidak menghendaki upah dari kalian. Namun kecintaanku kepada kepada kalian karena kekerabatan kalian kepadaku. Dan hal ini tidak memberikan izin kepadaku untuk bersikap acuh tak acuh kepada kalian dan kekeluargaanku kepada kalian menuntutku untuk menghidayai kalian bukan mengambil upah dari kalian.
Ketiga kemungkinan ini kendati sepintas kelihatan masuk akal dan elok dipandang mata, namun dengan sedikit lebih teliti maka akan menjadi jelas bahwa tidak satu pun dari tiga kemungkinan ini benar adanya. Karena apabila yang dimaksud adalah kafir Quraish, mereka tidak mengambil apa pun dari Nabi Saw sehingga harus menyerahkan upah. Dan apabila yang dimaksud adalah orang-orang Quraish yang beriman kepada Nabi Saw, dalam hal ini kemarahan tidak dapat digambarkan sehingga dituntut dari mereka untuk melenyapkan kemarahan mereka sebagai upah risalah, karena itu kemungkinan pertama akan tertolak.
Demikian juga, persahabat kaum Anshar dengan Nabi Saw sedemikian jelas sehingga tidak ada pun orang yang tidak tahu tentangnya. Karena itu, tidak ada maknanya bahwa Nabi Saw meminta mereka untuk mecintainya karena kekerabatan jauh yang ada di antara mereka. Terlebih orang Arab tidak terlalu memandang penting kekerabatan dari pihak ibu.[12] Dan Islamlah yang memberikan perhatian penting terhadap masalah ini. Karena itu, kemungkinan kedua tidak memiliki landasan rasional yang dapat diterima. Adapun dalam mengkritisi kemungkinan ketiga dapat dikatakan bahwa: Apakah kemungkinan ini tidak berseberangan dengan kedudukan Nabi Saw? Bukankah al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa tugasmu (Muhammad) hanyalah mengajak. Adapun memberikan petunjuk dan menghidayai itu adalah tugas Allah Swt dan Nabi Saw tidak boleh bersedih hati karena perlakuan orang-orang kafir. Bagaimana dapat dipercaya bahwa Nabi Saw karena kekerabatan, beliau memberikan petunjuk kepada sebagian orang dan lantaran kemarahan dan ketidaksukaan kepada sebagian lainnya, menghindar tidak memberikan petunjuk kepada mereka.[13]
2. Kini yang dimaksud dengan “al-Qurba” telah jelas maka pertanyaan yang mengemuka sekarang adalah siapa yang dimaksud dengan orang-orang dekat dan para pemilik kekerabatan dan kedekatan pada garis keturunan? Jawabannya adalah Ahlulbait Nabi Saw yang merupakan maksud utama ayat ini. Hal itu dikarenakan:
Pertama, teridentifikasinya mansub ilaihi (yang disandarkan padanya), merupakan sebuah indikasi untuk menentukan pemilik kedekatan. Terkadang, mansub ilaihi disebutkan pada ucapan dan hal ini sendiri dapat menjadi sebuah tanda bahwa siapa yang dimaksud dengan keluarga dan kerabat. Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. Al-Taubah [9]:113) Penyebutan “nabi” dan “orang-orang yang beriman” adalah bukti atas poin ini bahwa yang dimaksud dengan “uli qurba” adalah orang-orang dekat setiap orang. Atau pada sebuah ayat “Setiap harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota itu adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul” (Qs. Al-Hasyr [59]:7) Redaksi “kepada rasul” merupakan indikasi bahwa yang dimaksud dengan “lidzil Qurba” adalah kerabat dan orang-orang dekat Rasulullah Saw. Pada ayat “Katakanlah (Wahai Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku” juga terdepannya kata kerja “aku tidak meminta” merupakan sebuah tanda bahwa yang dimaksud “al-Qurba” adalah orang-orang dekat yang meminta (al-sail).[14]
Karena itu pada ayat mawaddah sendiri merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud “al-qurba” itu adalah Ahlulbait dan orang-orang dekat Rasulullah Saw. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa ayat ini menandaskan kecintaan kepada orang-orang dekat (Rasulullah) dipandang sebagai upah risalah. Dan ayat tersebut meminta kepada kaum Muslimin untuk mencintai keluarga Rasulullah Saw.[15]
Kedua, ayat-ayat yang berkenaan dengan upah risalah dalam al-Qur’an termasuk beberapa permasalahan di bawah ini:
B. Terkait dengan pribadi Rasulullah Saw disebutkan bahwa: Aku tidak menginginkan upah dari kalian kecuali kecintaan kepada keluargaku.
C. Juga dijelaskan bahwa: Upahku adalah bagi orang-orang yang menerima seruanku dengan pilihan mereka.[18]
D. Pada ayat lainnya disebutkan: “Katakanlah, “Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Saba [34]:47)
Dengan menyandingkan ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw juga seperti para nabi yang lainnya, tidak menginginkan upah untuk dirinya sendiri, melainkan kecintaan kepada Ahlulbaitnya merupakan jalan menuju ke haribaan Tuhan. Dan sejatinya kecintaan ini adalah untuk manusia itu sendiri. Karena kecintaan ini merupakan gerbang untuk memasuki masalah imamah, khilafah, pengganti Rasulullah Saw dan pemberian petunjuk bagi manusia. Kecintaan ini merupakan perkara berpulang pada masalah pemenuhan dan ajakan.[19]
Dari satu sisi, “ajr” merupakan satu redaksi yang diperuntukkan baik untuk “ajr duniawi” dan juga “ajr ukhrawi”. Dan apa yang telah dinafikan pada ayat-ayat ini adalah “ajr duniawi.” Karena pada ayat-ayat ini disebutkan bahwa aku tidak meminta upah dari kalian, secara lahir menandaskan pada upah dan ganjaran duniawi. Dan kehidupan Nabi Saw menjadi bukti dan saksi atas makna ini[20] bahwa Nabi Saw tidak mengejar upah dan ganjaran duniawi.
Dari sisi lain, upah dan ganjaran hakiki, mengejewantah ketika memberikan manfaat bagi yang menerimanya, sementara mawaddah (cinta berlebih, isyq) dan mahabba (cinta) terhadap dzawilqurba adalah untuk kepentingan pecinta bukan untuk kepentingan Nabi Saw. Karena kecintaan terhadap dzawilqurba akan menyebabkan kecintaan, pada kehidupannya mengikuti dzawilqurba, dan menjadikanyna sebagai teladan dan menjauhkan dirinya dari perangkap setan.[21]
Karena itu, Nabi Saw tidak menghendaki upah dan ganjaran duniawi. Dan apabila beliau menghendaki kecintaan masyarakat kepada dzawilqurba hal ini bukan merupakan upah dan ganjaran hakiki karena al-Qur’an menegaskan bahwa keuntungan dari kecintaan ini adalah untuk manusia.
Sekarang kita harus mengajukan pertanyaan bahwa kecintaan kepada siapa dan mengikuti siapa yang memberikan keuntungan kepada masyarakat? Dan kecintaan kepada siapa yang merupakan contoh-contoh terkabulkannya doa Nabi Saw?
Apakah mawaddah dan mahabbah kepada orang-orang yang ternodai dengan kebodohan dan kesesatan dapat menjadi faktor penyelamat orang lain? Dan apakah apabila orang buta yang menuntun orang buta dapat menyampaikan manusia kepada akhir tujuannya?
Petunjuk Ilahi untuk seluruh manusia merupakan upah risalah. Tentu saja petunjuk Ilahi ini adalah untuk kepentingan dan keuntungan manusia. Dan perkara ini juga berada pada pancaran petunjuk (hidayah) dapat terealisir adalah jiwa dan diri Rasulullah Saw,[22] pelita hidayah,[23] bahtera keselamatan,[24] gerbang ilmu,[25] jalan kebenaran dan sebagainya. Dan apakah orang-orang sedemikian bukan lain Ahlulbait Rasulullah Saw.
Ketiga, terdapat banyak riwayat yang dinukil oleh kedua mazhab dalam masalah ini secara jelas dan tegas menjelaskan maksud “al-qurba,” sebagaimana dibawah ini:
1. Hakim Huskani dalam menjelaskan ayat ini menukil sebuah riwayat yang menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan “dzawil qurba”[26] Misalnya Ibnu Abbas berkata, “Tatkala ayat “Katakanlah (Muhammad) Aku tidak meminta upah atas apa yang kuserukan kecuali kecintaan kepada al-qurba,” diwahyukan, para sahabat Rasulullah Saw bertanya: Siapakah orang-orang yang dititahkan Tuhan untuk kami cintai? Rasulullah Saw bersabda: “Ali, Fatimah, kedua putra dari mereka.”[27]
2. Suyuthi dalam menafsirkan ayat ini menukil sebuah riwayat dari Nabi Saw yang menjelaskan: Maksud ayat ini adalah (hendaknya) kalian menjaga hakku dan Ahlulbaitku.”[28]
3. Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail al-Shahaba dan Qurthubi dalam menafsirkan ayat (mawaddah) menukil riwayat dari Nabi Saw dimana yang dimaksud (al-Qurba) adalah Ali, Fatimah, dan kedua putranya.”[29]
4. Zamakhsyari[30] dan Fakhrurazi[31] dengan bersandar pada sebuah riwayat yang dinukil dari Nabi Saw bahwa ayat “dzawil qurba” dikhususkan kepada Ali, Fatimah dan kedua putranya.”
Namun banyak kritikan dan isykalan yang diajukan terkait dengan penafsiran “al-mawaddah fi al-qurba” bahwa itu bermakna kecintaan terhadap Ahlulbait As. Di antaranya tidak dapat diterima bahwa yang dimaksud dengan “al-mawaddah fi al-qurba” adalah Ahlulbait As. Karena ayat yang disebutkan pada surah Syura dan apakah surah ini merupakan surahMakkiyah, dimana Fatimah Zahra, Hasan dan Husain belum atau tidak ada (ketika itu) sehingga kecintaan kepada mereka menjadi upah risalah!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa: Pertama, mayoritas penafsir berkata bahwa keempat ayat surah al-Syura ini merupakan surah Madani bukan Makkiyah. Kedua, banyak riwayat yang memandang bahwa pewahyuan ayat ini berlangsung di Madinah. Ketiga, yang menjadi kriteria surah tergolong Makkiyah atau tidak bukan terletak pada pra hijrah atau pasca hijrah, boleh jadi setelah hijrah terdapat surah yang diturunkan di Makkah, misalnya para hajjatul widâ’ dan setelah kelahiran Fatimah, Hasan, dan Husain.[32]Untuk menjawab kritikan dan isykalan ini secara detil kami akan alokasikan pada kesempatan yang lain.[]
Kami cukupkan tulisan ringkas ini di sini dan mereka yang tertarik untuk meriset dan menelaah lebih jauh kami persilahkan untuk merujuk kepada sumber-sumber di bawah ini:
1. Ihyâ al-Mayyit bifadhâil Ahlulbait, Suyuthi, hal. 8.
2. Al-Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 101.
3. Al-Mizân, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 51-53.
4. Ahlulbait, Maqâmuhum, Manhâjuhum, Masâruhum, hal. 14-19.
5. Payâm-e Qur’ân, Makarim Syirazi, jil. 9, hal. 225-237
6. Tafsir Qurthubi, jil. 8, hal. 5843, jil. 16, hal. 21-22.
7. Tafsir Nemune, jil. 7, hal. 174 dan jil. 11, hal. 369, dan jil. 12, hal. 95.
8. Jami’ al-Bayân, Thabari, jil. 25, hal. 16.
9. Mustadrak al-Shahiain, Hakim Naisaburi, jil. 3, hal. 173.
10. Hilyat al-Awliyâh, Hafiz Abu Nu’aim Isfahani, jil. 3, hal. 201.
11. Dzakhâir al-Uqba’, Muhibuddin Thabari, hal. 138.
12. Ruh al-Ma’âni, jil. 25, hal. 32.
13. Kanz al-‘Ummâl, jil. 1, hal. 118.
14. Majma’ al-Bayân, jil. 9, hal. 28, 29, 50; jil. 7 dan 8, permulaan surah al-Mukmin, hal. 512.
15. Majma’ al-Zawâid, jil. 9, hal. 168.
0 comments:
Catat Ulasan